Friday, January 2, 2009

PROSES KEIMANA TERHADAP AL QUR"AN

PROSES KEIMANAN TERHADAP AL QUR”AN

Adapun bukti yang sangat mudah bahwa Al Qur’an itu datang dari Allah SWT, dapat dilihat dari kenyataan bahwa Al Qur’an sebuah kitab suci yang berbahasa Arab yang dibawa oleh rasulukllah Muhammad SAW. Karena fakta tersebut, maka dalam upaya menentukan dari mana asa Al Qur’an itu, dapat kita buktikan dengan tiga kemungkinan dan hanya tiga kemungkinan itu, tidak ada yang lain. Ketiga kemungkinan tersebut adalah:
a. Pertama, ia merupakan karangan bangsa Arab.
Kemungkinan yang pertama ini, yang mengatakan bahwa Al Qur’an merupakan karangan bangsa Arab adalah suatu kemungkinan yang bathil. Sebab Al Qur’an sendiri menantang mereka (bangsa Arab) untuk membuat karya yang serupa. Sebagaimana tertera daLam ayat:
“...Katakanlah: ‘Maka datangkanlah sepuluh surat yang menyamainya, panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.” (TQS. Huud [11]: 13)
Juga firman-Nya:
Atau (patutkah) mereka mengatakan: Muhammad membuat-buatnya’. Katakanlah: ‘(Katau benar yang kamu katakan itu), maka coba datangkan sebuah surat yang menyamainya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (TQS. Yunus[1O]: 38)
Bangsa Arab tetah berusaha untuk menghasilkan karya yang serupa, akan tetapi mereka tidak juga berhasit. Jadi Al Qur’an bukan berasal dan perkataan orang Arab, karena ketidakmampuan mereka untuk menghasilkan karya yang serupa.
b. Kedua, Ia merupakan karangan Muhammad SAW.
Adapun kemungkinan yang kedua, yang mengatakan bahwa Al. Qur’an itu karangan Muhammad SAW, adalah kemungkinan yang bathil pula. Sebab Muhammad adalah orang Arab juga. Bagaimanapun jeniusnya, tetaplah Ia sebagal seorang manusia yang menjadi salah satu anggota dan bangsanya. Selama bangsa Arab tidak mampu menghasilkan karya yang serupa, maka masuk akal pula apabila Muhammad SAW yang orang Arab itu juga tidak mampu menghasil karangan yang serupa.
Hat tersebut makin diperkuat dengan banyaknya hadits-hadits shahih dan mutawatir dari Nabi Muhammad SAW, yang bila setiap hadits ini dibandingkan dengan ayat manapun dalam Al Qur’an maka tidak akan dijumpai adanya kemiripan dari segi gaya bahasa (uslub), padahat keduanya berasal dari orang yang sama. Akan tetapi keduanya tetap berbeda dari segi gaya bahasanya. Dan bagaimanapun kerasnya seseorang menciptakan berbagai macam gaya bahasa dalam pembicaraannya, tetap akan terdapat kemiripan antara gaya bahasa yang satu dengan gaya bahasa yang lain. Jadi karena tidak ada kemiripan antara gaya bahasa Al Qur’an dengan gaya bahasa hadits maka yakinlah bahwa Al Qur’an itu bukan perkataan Nabi Muhammad SAW.
Dengan demikian maka terbantahlah kemungkinan pertama dan kedua. Kini tinggal tuduhan lain yang mereka lontarkan, yaitu bahwa Al Qur’an itu di sadur oleh Muhammad SAW dari seorang pemuda Nasrani bernama Jabr. Tuduhan itu ditotak keras oleh Allah SWT melalui firmannya:
“(Dan) Sesungguhnya Kami mengetahul bahwa mereka berkata, Sesungguhnya Al Qur’an itu diajarkari oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad). Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya (adalah) bahasa ‘ajami (non arab), sedangkan Al Qur’an itu dalam bahasa Arab yang jelas.” (TQS An NahI [16]: 103)
Inilah pembuktian yang jelas bahwa Al Qur’an itu bukan karangan bangsa Arab atau karangan Muhammad SAW. Al Qur’an adalah perkataan Allah (kalam Allah) yang menjadi mukjizat bagi pembawanya (Muhammad SAW). Tidak ada kemungkinan lain selain ini, dilihat dari kenyataan bahwa At Qur’an itu berbahasa Arab.
c. Ketiga, ía berasal dari Allah semata, sebagaimana pernyataan pembawanya.
Setelah kedua kemungkinan tersebut terbantahkan, kini hanya tinggat satu kemungkinan yaitu bahwa Al Qur’an itu adalah kalamullah. Kemungkinan inilah yang shahih di antara tiga kemungkinan yang ada. Kemungkinan ini sekaligus membuktikan bahwa Muhammad SAW adalah Rasulullah karena tidak ada yang membawa syariat dan mukjizat kecuali seorang nabi dan rasul.
Sedangkan yang membawa syariat (AL Qur’an) tersebut tidak adalah Muhammad SAW.
Demikian uraian-uraian singkat namun jelas dan tegas tentang dalil aqli untuk beriman kepada (wujudnya) Allah, kepada kebenaran kerasulan Muhammad SAW dan kepada Al Qur’an bahwasanya Al Qur’an merupakan kalam Allah.
Konsekuensi Iman Kepada Allah, Rasulullah SAW, dan Al Qur’ an
Jadi iman kepada (wujud) Allah itu datang dari akal dan memang harus datang dari jalan seperti ini. Ini pula yang menjadi dasar untuk beriman terhadap hal-hal yang ghaib dan segala hal yang dikabarkan oleh Allah SWT. Sebab jika kita telah beriman kepada Allah SWT, yang memiLiki sifat-sifat ketuhanan itu, maka wajib pula kita untuk beriman terhadap apa saja yang dikabarkan oleh-Nya. Baik hal itu dapat dicerna oleh akal maupun tidak, karena semua dikabarkan oleh Allah SWT.
Dari sini kita wajib beriman kepada adanya hari kebangkitan dan pengumpulan (ba’ats), surga dan neraka, hisab dan siksa, juga beriman akan adanya malaikat, jin dan syaithan, serta apa saja yang telah diterangkan Al Qur’an dan hadist qath’i. Iman seperti ini walaupun didapat dari jalan mengutip (naqli) dan mendengar (sama’), akan tetapi pada dasarnya telah terbukti oleh akal. Jadi aqidah seorang muslim itu harus bersandar kepada akal atau pada sesuatu yang telah terbukti dasarnya oleh akal. Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, yaitu akal serta nash Al Qur’an dan hadist qath’i (mutawatir), haram baginya untuk mengi’tiqadkannya. Sebab aqidah tidak boleh diambil kecuali dengan kepastian (keyakinan).
Oleh karena itu kita wajib beriman kepada kehidupan sebelum dunia, yaitu adanya ALLah SWT dan proses penciptaan oleh-Nya; serta beriman kepada kehidupan setelah dunia yaitu hari akhirat. Perintah-perintah Allah itu merupakan tali penghubung (shilah) antara kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum dunia, yattu hubungan penciptaan (shilatul khalq); dan sekaligus menjadi tali penghubung kehidupan dunia dengan kehidupan sesudah dunia (shilatul muhasabah). Dan pastilah hal ihwal manusta terikat oleh tall penghubung ini. Karenanya manusia wajib berjaLan dalam kehidupan ini sesual dengan peraturan Allah dan wajib beri’tiqad bahwa ta diciptakan oleh Allah, dan akan dihisab di hari kiamat atas segala perbuatan baik dan buruknya di dunia.
Dengan demikian telah terbentuklah pemikiran yang jernih tentang apa yang ada di balik kehidupan, alam semesta dan manusia. Telah terbentuk pula pemikiran yang jernih tentang alam sebelum dan alam sesudah dunia. Dan bahwasanya terdapat tali penghubung’ antara dunia dengan kedua alam tersebut. Dengan demikian telah terurailah masalah besar itu secara pasti kebenarannya dengan Aqidah Islamiyah.
Apabila manusia telah berhasil memecahkan hal tadi ia dapat beralih memikirkan kehidupan dunia serta mewujudkan mafahim (persepsi-persepsi) yang benar tentang dunia, yang dihasilkan dari pemikiran mendasar tersebut. Pemecahan itu pula yang menjadi dasar bagi berdirinya suatu prinsip Idiogis kehidupan (mabda’) yang membentuk jalan menuju kebangkitan suatu kaum. Mabda’ itu pula yang akan menjadi dasar bagi tumbuh kembangnya peradaban (hadloroh) suatu kaum. Juga menjadi peraturan-peraturan hidupnya, dan juga menjadi dasar untuk mendirikan negaranya. Dengan demikian dasar bagi berdirinya Islam, secara fikroh (ide dasar) maupun thoriqoh (pola operasional/metode pelaksanaan) adalah Aqidah Islam itu sendiri. Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rosul-Nya dan kepada Kitab yang diturunkan Allah kepada Rasli dan kepada Kitab yang diturunkan sebelumnya. Dan siapa saja mengingkari Allah dan Malaikat-Nya dan Kitab-Kitab-Nya dan Rasui -Nya dan hari akhir maka Ia telah sesat sejauh-jauhnya kesesatan.” TQS An Nisaa’ [4]: 136)
Apabila semua inii (Iman kepada ALlah, dst tadi) tetah terbukti kebenarannya, maka wajib pula beriman kepada Syari’at Islam (sebagaimana kepada Aqidah Islam). Karena seluuruh syariat ini tercantum dalam Al Qur’an dan telah dibawa oleh Rasulullah SAW. Apabila tidak beriman maka ía kufur. Seorang yang ingkar terhadap hukum-hukum secara keseluruhan atau sebagian, dapat menyebabkan ia menjadi kufur. Baikk hukum-hukum itu berkaitan dengan ibadah, muamalah, uqubat (sanksI), ataupun math’umat (yang berkaitan dengan makanan).
Maka kufur terhadap ayat:
“Dirikanlah shalat....
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (TQS Al Baqarah [2]: 275)
Atau terhadap ayat
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglol tangan keduanya.” (TQS AL Maidah [5]: 38)
Atau ayat
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan (hewan yang disembelih atas nama selain Allah.” (TQS Al Maidah [5]
Dengan demikian, iman terhadap syari’at sebenarnya tidak berhenti pada akal semata, tetapi juga harus ada penyerahan mutlak terhadap segala yang datang dari sisi-Nya, sebagaimana firman-Nya:
“Maka demi Rabb-mu mereka itu (pada hakekatnya) tidak beriman sebelum mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa di hati mereka suatu keberatan terhadap putusan, yang engkau berikan dan mereka menerima (pasrah) dengan sepenuhnya.” (TQS An Nisaa’ [4]: 65)

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com